Selasa, 18 November 2014

Sejarah Glodok

Romantisme sejarah Pecinan di tengah hiruk-pikuk modernitas Ibu Kota akan menarik untuk diulik. Apalagi jika jejak sejarah itu tampak jelas terpampang pada banyak bangunan yang bisa ditelusuri dengan hanya berjalan kaki.

Dalam sejarahnya, kawasan Pecinan selalu menjadi penopang sekaligus jantung perekonomian suatu kota. Sebagai kawasan yang disebut-sebut sebagai Pecinan terbesar di Indonesia, kawasan Pecinan Glodok dikenal sebagai salah satu pusat roda perekonomian Ibu Kota, terutama sebagai sentra penjualan elektronik di Jakarta.

Glodok yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat kini juga menjadi salah satu daya tarik wisata sejarah di kawasan Kota Tua Jakarta. Glodok memiliki nilai sejarah tinggi sebagai saksi kehidupan etnis Tionghoa sejak zaman Kolonial. Dapati jejaknya dari ragam bangunan tua, vihara, dan tentunya juga denyut kehidupan etnis Tionghoa yang masih terasa kental di kawasan ini.

Awalnya, pada zaman kolonial, Glodok ditunjuk sebagai kawasan khusus bagi etnis Tionghoa agar Belanda lebih mudah mengawasi mereka setelah terjadinya tragedi yang dikenal dengan nama Geger Pacinan pada 1740. Pada masa itu, tercatat salah satu sejarah paling hitam di Batavia dimana lebih dari 10 ribu etnis Tionghoa terbunuh. Kali Angke yang letaknya berdekatan dengan Glodok pada saat itu menjadi merah karena darah dari para korban. Dalam Bahasa Mandarin, Angke sendiri bermakna kali merah.

Lihatlah kesibukan di Pasar Petak Sembilan; toko-toko grosir, obat, bahan sandang, kuliner, rumah makan dengan ciri khas Tionghoa yang mencolok berderet di sepanjang jalan. Hiruk-pikuk arus lalu lintas yang padat menjadi penanda betapa sibuknya kawasan ini.

Dari pasar ini, perjalanan dapat dilanjutkan menelusuri kawasan Pecinan Glodok. Beberapa orang lebih suka memulai telusur Pecinan dari Kota Tua atau Pasar Asemka yang disebut sebagai pintu masuk kawasan ini. Tapi dari mana pun tak jadi soal. Berjalan kaki bisa menjadi pilihan bijak saat menelusuri jejak-jejak oriental yang kental di kawasan ini.

Di antara deretan toko dan ruko Pasar Petak Sembilan, tampak beberapa gang kecil yang akan mengantar langkah Anda ke beberapa bangunan khas Tionghoa yang antik. Apabila Anda melangkah ke Jalan Pintu kecil I maka akan ditemukan rumah antik berhias ornamen khas Tionghoa yang kabarnya merupakan milik saudagar tembakau. Tulisan plat “Vervonding” tampak masih menempel di dinding rumah. Tidak jauh dari rumah ini, temukan rumah kuno lain yang tepat berada di titik tusuk sate. Uniknya, selain nampak antik meski agak tidak terawat, pada bagian atap rumah ini terlihat sebuah guci. Menurut kepercayaan Tionghoa, yang mengadopsi konsep feng shui dalam membangun rumah, guci ini dipercaya bisa menangkal hal buruk terkait letak rumah pada tusuk sate.

Keantikan bangunan tua tidak hanya terlihat dari bangunan yang menjadi hunian atau pertokoan. Jejak sejarah Pecinan juga dapat dinikmati di beberapa vihara berusia ratusan tahun yang masih berfungsi hingga kini. Ada tiga vihara tua di daerah ini, termasuk vihara tertua bernama Dharma Bakti yang dibangun tahun 1650.

Dari Jalan Pintu Kecil 1, Anda hanya perlu belok kiri hingga menemukan jalan raya. Dari sana, tinggal menyeberang dan menelusuri Jalan Kemenangan III. Sebuah plat besi berwarna kuning menjadi penanda menuju vihara pertama dan termuda usianya, yaitu Vihara Tanda Bhakti. Vihara berusia sekira 256 tahun ini tampak megah dengan dominasi warna merah dan kuning pada pilar dan atap vihara. Di bagian depan, terdapat bangunan terbuka tempat sembahyang yang menaungi hio-louw untuk menancapkan hio atau dupa lidi. Pada bagian atap bangunan utama, tampak 4 bentuk naga dan sebutir mutiara tepat di tengah.

Interior Tanda Bhakti cukup menarik. Di ruang utama, warna merah mendominasi tempat pemujaan. Di bagian dalam, terdapat beberapa area sembahyang yang memuja beberapa dewa. Pada beberapa sisi dinding bangunan, tampak pula relief dewa penuh warna.

Masih di Jalan Kemenangan III, terdapat Vihara Dharma Jaya (Toasebio) yang tampak luar terkesan cerah oleh warna dominan merah. Tempat sembahyang bagian luar dinaungi 2 atap dengan ornament naga dan burung di sudut terluar atapnya. Puncak atap menjunjung bunga teratai.

Vihara ini tengah berhias untuk menyambut perayaan ulang tahunnya yang ke-259. Pada ruang utama vihara, tampak lampion merah memenuhi langit-langit. Di beberapa sudut terdapat tempat pemujaan. Lilin-lilin kecil yang berjajar rapi juga menambah nuansa tersendiri pada vihara yang memiliki bangunan tambahan hingga beberapa lantai ini.

Tak jauh dari Vihara Dharma Jaya, Anda dapat melihat arsitektur Gereja St. Maria de Fatima yang atapnya mengadopsi gaya atap vihara atau bangunan khas oriental. Gereja ini dulunya merupakan kediaman kapiten China di Batavia.

Teruskan perjalanan Anda hingga tiba di vihara tertua di Jakarta, Dharma Bhakti, yang dibangun pada 1650. Tahun 1740, kelenteng ini sempat dibakar pada Tragedi Geger Pacinan namun kembali dibangun pada 1755.

Sebelum ke bangunan utama, terdapat 3 bangunan berjajar yang juga merupakan tempat sembahyang. Tampak para pengemis berjejer di depan pintu masuk vihara utama yang juga dikenal dengan nama Jin de Yuan atau Kim Tek Le yang berarti Kelenteng Kebajikan Emas ini.
 Vihara Dharma Bhakti - Indonesia.travel
Vihara Dharma Bhakti memang lebih ramai dibanding 2 vihara sebelumnya. Di bagian dalam, tampak lilin-lilin merah raksasa tertebar di beberapa sudut. Bias cahaya Matahari yang masuk memberi efek tersendiri saat mengenai asap dupa atau lilin.

Selain beberapa banguan tersebut di atas, masih banyak bangunan lain yang menyimpan romantisme corak oriental tua nan bersejarah, seperti Toko Obat Lay An Tong, Rumah Keluarga Souw (saudagar kaya), Toko Gloria, dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar